BURUNG MERAK PARA FUQOHA'


(Thawus bin Kaisan)

Kisah  dalam sejarah, islam telah melahirkan ulama’-ulama’ besar yang sangat mulia akan ilmunya. Diantara ulama’-ulama’ tersebut ada sosok ulama’ fiqh yang mulia, dikenal sebagai burung merak para ulama’. Untuk mengenal lebih dekat, berikut adalah pemaparan singkat biografi Thawus bin Kaisan.
Mengenal Thawus bin Kaisan
            Abu ‘Abdurrahman Thawus bin Kaisan Al-Yamani adalah seorang ahli fiqh dari kalangan tabi’in. Ia lebih dikenal dengan Thawus bin Kaisan Al-Yamani yang berarti burung merak. Laqob tersebut diberikan kepada beliau lantaran beliau menimba ilmu fiqh ke berbagai ulama’, sehingga ilmu yang ada pada diri beliau tentang fiqh sangat luas sehingga beliau disebut burung merak para fuqoha’.[1]  
Dalam riwayat lain telah disebutkan bahwa nama asli beliau adalah Dzakwan bin Kaisan.[2] Thawus lahir di Persia pada kekhalifahan Utsman bin ‘Affan, oleh karenanya nama beliau tercantum pada sebagian buku sejarah dengan Abu ‘Abdurrahman bin Kaisan Al-Farisi. Namun, beliau tinggal di Yaman sehingga lebih dikenal dengan Al-Yamani.
Keutamaan dan Kepribadian
Thawus bin Kaisan memiliki sifat yang mulia dan terpuji. Mujahid berkata: Sifat terpujinya sangat dikenal oleh kalangan ahlu ‘ilmi dizamannya. Luasnya ilmu fiqhnya menjadikan banyaknya orang yang mengambil ilmu darinya. Begitu pula ketika berdakwah, ia selalu jujur dalam berkata. Keyakinan yang tertancap dalam benaknya adalah bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan yang haq dan menjauhi kedzaliman. Dihadapan penguasa, ia selalu berlaku santun dengan penuh penghormatan.Thawus bin Kaisan dimuliakan dengan kepribadiannya yang santun kepada orang lain. Sifatnya yang santun tidak mengalahkannya dalam menegakkan agama islam dan dalam mengutarakan hukum kepada kaum muslim. Ibnu Abbas berkata tentang Thawus bin Kaisan: “Sungguh, aku benar-benar mengira bahwa Thawus termasuk ahlu jannah.” Perkataan Ibnu Abbas ini menandakan bahwa Thawus adalah faqihuddiin –orang yang faqih terhadap agama- pun keshalihannya lebih utama.[3]
Salah satu nasehat beliau kepada anaknya: “Berkawanlah kamu dengan orang-orang yang pandai lagi berilmu, walaupun kamu tidak seperti mereka. Dan janganlah kamu bergaul dengan orang-orang yang jahil, walaupun kamu tidak seperti mereka. Karena orang-orang akan menisbatkan kamu kepada siapa kamu berkawan. Dan sungguh, segala sesuatu memiliki tujuan. Dan tujuan seseorang didunia ini adalah memenuhi urusan agamanya dan menyempurnakan akhlaqnya.[4]
Nasehat tersebut dapat kita ambil sisi baiknya, bahwa betapa mulianya orang yang berkawan dengan orang berilmu agar kita dapat mengambil ilmu dari mereka dan akhlaq mulia para ahlu ilmu. Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa keutamaan beliau dalam akhlaq, ahli ibadah, penasehat yang bijaksana, sangat jujur dalam berkata dan ulama’ fiqh yang tsiqoh.
Seorang ulama’ pasti memiliki nasehat-nasehat yang bermanfa’at bagi orang-orang setelahnya, generasi-generasi setelahnya. Berikut ini adalah nasehat dan kata mutiara yang terucap dari lisan Thawus bin Kaisan Rahimahullahi ta’ala. Ibnu Thawus berkata dari ayahnya: “Manisnya dunia adalah pahitnya akhirat, sedangkan pahitnya dunia akan berbuah manis di akhirat.”
Thawus berkata: “Akhlaq yang paling hina dimata Allah adalah pejabat yang memimpin kaum muslimin sedang ia tidak berlaku adil.”
Dari Ibnu Abu Najih, dari ayahnya, bahwasanya Thawus berkata kepadanya -Abu Najih- : “Barang siapa yang berkata baik dan bertakwa kepada Allah, maka itu lebih baik daripada ia diam dan bertakwa kepada Allah.”
 Walaupun beliau sudah berusia senja, ilmunya yang sangat luas tersebut tidak berkurang darinya. Diceritakan dari Waaki’, dari Abu ‘Abdillah Al-Hasymi, ia berkata: “Aku pergi untuk menemui Thawus, sedangkan yang menemuiku adalah anaknya seperti syaikh besar. Lalu aku bertanya:” Apakah anda Thawus bin Kaisan?” Anak Thawus menjawab:”Bukan tuan, saya anaknya.”
Kemudian aku berkata: ”Jika kamu anaknya, pasti ayahmu seorang yang renta lagi pikun.” Anak Thawus menimpali: ”Sungguh, ayahku seorang yang berilmu dan tidak berkurang sedikitpun ilmu darinya.” Lalu aku masuk untuk menemui Thawus, Thawus berkata kepadaku: “Berkatalah secara singkat..!!” Maka aku menjawab: “Jika anda berbicara dengan singkat, maka aku akan berbicara singkat kepada anda.”
Ia berkata kepadaku: “Apakah engkau ingin mengetahui dariku makna dari himpunan Taurat, Injil, Zabur dan Al-Furqan-Al-Qur’an- dalam majlisku ini? Aku menjawab: “Iya.” Maka ia berkata: “Takutlah kepada Allah dengan sangat sehingga tiada bandingan rasa takutmu kepadaNya. Dan berharaplah kepadaNya dengan permohonan yang melebihi rasa takutmu kepadaNya. Kemudian bahagiakanlah orang lain sebagaimana kamu membahagiakan dirimu sendiri.”[5]
Guru-Guru Thawus bin Kaisan
Thawus bin Kaisan mengambil ilmu fiqh dan ilmu-ilmu yang lain dari 50 sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.[6] Diantara sahabat yang menjadi gurunya adalah: Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abu Hurairah, Zaid bin Arqam, Ibnu Abbas –Thawus bin Kaisan mulazamah kepadanya hingga Ibnu Abbas meninggal- Jabir, Suraqah bin Malik, Shafwan bin Umayyah, Ibnu Umar, Abdullah bin ‘Amru, Ziyad Al-A’jam, Hujr bin Al-Madary, dan Mu’adz bin Jabal.[7]
Murid-Murid Thawus bin Kaisan
Banyak diantara ahlu ‘ilmi yang mengambil ilmu dan meriwayatkan hadits dari Thawus bin Kaisan. Diantaranya adalah: Atho’ bin Abi Rabah, Mujahid, dan teman-teman sebayanya, Anaknya; Abdullah, Al-Hasan bin Muslim, Ibnu Syihab, Ibrahim bin Maisaroh, Abu Zubair Al-Makky, Sulaiman At-Taimiy, Sulaiman bin Musa Ad-Damasyqy, Qais bin Sa’id Al-Makky, ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Usamah bin Zaid Al-Laits, ‘Abdul Malik bin Maisarah, ‘Amru bin Dinar, Abdullah bin Abi Najih, Handholah bin Abi Sufyan, dan yang lainnya.[8]
Kontribusi Thawus bin Kaisan terhadap Fiqh
Thawus bin Kaisan berkelana mencari ilmu kepada para ulama’ di berbagai penjuru. Sehingga beliau menjadi ulama’ fiqh yang luar biasa keilmuannya. Dengan ilmunya inilah beliau berkontribusi dalam ilmu fiqh menjadi ulama’ fiqh di negri tempat beliau tinggal, yaitu Yaman. Banyak diantara kaum muslimin yang mengambil ilmu darinya dan meminta fatwa kepadanya. Beliau pun, menjadi penasihat para penguasa.  
Wafatnya Thawus bin Kaisan
Ketika Thawus bin Kaisan menunaikan ibadah haji yang ke-40 kalinya, tepatnya adalah malam tanggal 10 Dzulhijjah tahun 106 Hijriyah. Beliau telah telah melaksanakan wuquf di Arofah, hendak menuju Muzdalifah. Beliau berbaring untuk beristirahat, ketika itulah nyawa Thawus telah tiada. Diutuslah Ibnu Hisyam untuk mensholati jenazah Thawus bin Kaisan. Thawus di makamkan setelah terbitnya matahari lantaran sulitnya jenazah dikeluarkan. Sebab, banyaknya orang yang hendak menghantarkan beliau hingga ke pemakaman.[9]
Wallahu a’lam bishshawaab…


Daftar Pustaka
1.      Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi, Siyaru  A’lami An-Nubala’, (Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Islamiyah)
2.      Dr. Abdurrahman Ro’fatu Al-Baasyaa, Shuwarun Min Al-Hayaati At-Taabi’iin, (ttp: Dar Al-Adabi Al-Islamiyah)
3.      Abu Nu’aim Al-Ashfani, Hilyatul Auliya’ Wathabaqaat Al-Ashfiya’, (Beirut: Dar Al-Khottob Al-Ilmiyah)



[1] Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi, Siyaru  A’lami An-Nubala’, (Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah,2010) Vol. 5 Hal.22
[2] Dr. Abdurrahman Ro’fatu Al-Baasyaa, Shuwarun Min Al-Hayaati At-Taabi’iin, (ttp: Dar Al-Adabi Al-Islamiyah) Hal.282
[3] Abu Nu’aim Al-Ashfani, Hilyatul Auliya’ Wathabaqaat Al-Ashfiya’, (Beirut: Dar Al-Khottob Al-Ilmiyah) Vol.4 Hal. 4
[4] Ibid, Hal.14
[5] Dr. Abdurrahman Ro’fatu Al-Baasyaa,… Hal.11
[6] Ibid, Hal.10
[7] Ibid, Hal.23
[8] Ibid, Hal.23
[9] Abu Nu’aim Al-Ashfani, …  Hal.3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ADA HIKMAH DIBALIK UJIAN

ISTIQOMAH SAMPAI HUSNUL KHOTIMAH

NAJIS DIMANA-MANA

CURAHAN HATI DI MALAM TAHUN BARU

KESEMUAN YANG NYATA

PEMUDA DAMBAAN UMMAT

TAKLIM YUUK..

LANGIT...

MASALAH KEHIDUPAN